KEPOINDONESIA.id - Cerita Pendek atau Cerpen adalah jenis karya sastra yang berbentuk fiksi yang menceritakan kisah suatu tokoh beserta segala konflik dan penyelesaiannya yang ditulis secara singkat, ringkas, dan padat.
Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, tidak jarang juga ada pembahasan mengenai cerpen ini. Pengertian cerpen menurut ahli pun berbeda-beda, seperti pendapat Sumardjo dan Saini, Nugroho Notosusanto, H. B. Jassin, Saini, dan A. Bakar Hamid tidak ada yang sama.
Ciri-ciri cerpen pun mudah kita kenali, seperti jumlah kata yang relatif sedikit dari pada novel yaitu kurang dari 10.000 kata, bersifat fiktif, menggunakan alur tunggal dan masih banyak yang lainnya. Nah jika kalian sedang ada tugas untuk membuat atau mencari cerpen khususnya yang berkaitan dengan petani, kali ini saya akan membahas mengenai itu.
Yaitu tentang contoh cerpen dunia pertanian. Seperti petani membajak sawah, petani yang cerdik, petani memanen padi dan masih banyak yang lainnya. Namun sebelum itu kalian bisa baca terlebih dahulu contoh pantun tentang keindahan alam serta contoh desain jadwal pelajar keren dan struktur organisasi kelas minimalis untuk di tempel di dinding.
Namaku Azzam Samudera, putra sulung dari tiga bersaudara. Aku lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, ataupun buruh serabutan. Kabar buruknya, aku menjadi salah satu diantara mereka. Di usiaku yang menginjak 22 tahun, awal bulan ini. Aku merasakan kegamangan yang telah lama tertimbun jauh di dasar lubuk hatiku, rasa sesak dan bosan yang aku sendiri pun tak mengerti, terus saja menyeruak tiada henti. Hidup serba pas-pasan dan hanya makan seadanya, membuatku lelah.
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Azzam, seakan aku lahir tanpa memiliki kelebihan yang dapat disombongkan. 'Samudera' yang berarti lautan luas, dengan harapan aku bisa menjadi tumpuan bagi orang tua, justru tidak mampu aku emban. Bahkan aku merasa buruk sebagai seorang kakak. Semua berawal ketika bapak pergi ke ladang tujuh tahun lalu ... bapak yang memang sudah berusia lanjut, tanpa sengaja terjatuh ke parit sedalam tiga meter, kakinya terluka, dan patah. Karena keterbatasan biasa, kami hanya bisa membawanya ke tukang urut desa, hingga ia dinyatakan lumpuh sampai sekarang. Ibu yang juga sering sakit-sakitan tambah membuatku hidup nelangsa. Belum lagi, harus mengurusi adik-adik yang masih mengecap bangku sekolah, menjadikan bebanku semakin berat dan tak jarang aku terus mengeluh, contohnya seperti hari ini.
"Zam! Azzam, kamu sudah tidur nak!"
Kutenggelamkan kepalaku di balik bantal usang ini, saat suara parau ibu terdengar. Ibu pasti akan menyuruhku untuk mengambil pinjaman uang dari Pak Jaka, seorang rentenir yang biasa memberikan pinjaman namun dengan bunga yang tak sedikit. Aku lelah dengan semua ini, kebutuhan yang semakin banyak, serta ketidak siapanku menghadapi laju pertumbuhan, membuatku kalah dalam persaingan. Pada akhirnya, aku hanya dapat mengelus dada sabar, menghadapi kerasnya hidup di zaman orde reformasi ini.
"Kamu udah tidur ternyata." Dapat kurasakan tangan keriput itu mengusap kepalaku. Aku masih memilih memejamkan mata, menikmati sentuhan yang hampir tiap malam selalu diberikan ibu setiap kali anak-anaknya terlelap tidur. Aku menangis, cairan bening ini terus mendesak, memaksa keluar. Semakin lembutnya tangan itu mengelus rambut cepakku, semakin tersekat napas ini hingga sebuah kecupan lembut itu mendarat mulus di dahiku.
"Maaf!"
Satu kata yang terujar begitu lirih dari mulutnya, berhasil membuat air mataku berlomba keluar dari sarangnya. Batinku berdenyut sakit, entah apa yang akan terjadi jika aku membuka kelopak mataku saat ini. Berusaha keras aku menahan gejolak liar ini, kugigit bibir bawahku yang bergetar hebat, ingin rasanya aku berteriak, meraung sepuas hati.
Berangsur aku membuka mata, saat langkah kaki ibu kian melebar jauh dari kamarku. Bantal yang sebelumnya kujadikan tempat persembunyianku menangis dalam diam telah basah oleh cairan asin yang keluar dari mataku. Aku tersenyum getir, memilih berpura-pura tidur, meski tangisku tak jua berhenti.
Keesokan paginya, aku bangun pagi-pagi sekali seperti biasa. Peci sudah bertengger rapi di kepala, sarung lusuh yang hanya satu-satunya kupakai ditemani pakaian koko lengan panjang kukenakan. Mungkin itu adalah pakaian baru terakhir yang kusandang sejak lima tahun silam. Aku bergegas ke surau depan, biasa solat subuh di sana.
"Ya Allah, kenapa hamba begitu lemah hanya untuk bertahan dari ujian-Mu? Ampuni hamba yang terlampau sering mengadu pada-Mu. Hamba ingin menyerah, tapi perasaan takut ini terus menghantui ... tolong bantu hamba, tolong kuatkan hamba."
Tangisku kembali pecah di penghujung pagi ini, Dadaku serasa ditikam bertubi, menjalar dengan mudahnya tanpa hambatan berarti. Bibirku terus bergetar tidak sanggup lagi melanjutkan do'aku.
"Aku tak akan meminta Engkau untuk mencabut ujian-Mu, hamba tidak akan memohon agar engkau meringankannya, hanya satu ... Kuatkan hamba agar terus sabar menghadapinya. Ya Allah, kabulkan, kabulkanlah! Aamiin ...."
Kututup do'aku dalam hati dengan perasaan lega, hanya dengan begini, aku mampu menumpahkan sekelumit beban yang tengah kupikul di kedua pundakku. Allah yang mendengarku, melihatku, memperhatikanku, serta mengasihiku—hanya Dia tempatku bersandar—tempatku bercurah segala kegundahan hati, dikala aku merasa letih menjalani skenario kehidupan ini.
"Nak Azzam!" Kutolehkan kepalaku, ketika suara menyapa gendang telingaku. Sudut bibirku terangkat mengetahui sosok teladanku tengah tersenyum menghampiriku. Segera saja, aku berdiri, medekat pada seorang pria yang nampak berwibawa di usianya yang tak lagi muda.
"Pak Ustaz!" sapaku, mencium tangannya. Beliau mengumbar senyuman lebar, lantas mengajakku untuk duduk di teras surau. Kami duduk berdampingan, dengan pandangan lurus. Kudengar beberapa kali, beliau nampak menghirup udara lalu membuang napasnya sebelum menatap ke arahku.
"Menurutmu, kenapa Allah menciptakan manusia?" tanyanya kemudian.
"Agar kita menyembahnya?" jawabku, masih memperhatikan beliau yang terus mengulur senyum.
"Kamu benar Azzam. Tapi kamu melupakan satu hal." Alisku menukik tajam, heran. Memangnya apa yang aku lupakan?
"Apa yang saya lupakan, Ustaz?" Aku bertanya, semakin mendekat pada beliau bahkan aku sudah bergeser menghadapkan tubuhku padanya.
"Allah menciptakan makhluk agar kita tahu kekuasaan-Nya dalam mengatur segala sesuatu. Termasuk ujian yang dihadapi manusia!"
Aku tertunduk sejenak, memandangi alas kakiku yang hanya berupa sandal jepit usang ini. "Apa Pak Ustaz mendengar saya ...," lirihku pelan, sedikit terjeda.
"Nak Azzam yang sabar. Memang tidak mudah menjalani kehidupan dunia. Tapi kamu jangan sampai menyerah, Allah mendengar do'amu. Teruslah berikhtiar."
Aku mengagguk kecil. Tanpa sadar air mata kembali menetes. Aku segera menyekanya kasar, memandang dalam pria berpeci putih di depanku. Tangannya mengusap bahu kekarku, "Kuncinya adalah sabar, nak!"
Kuanggukkan sekali lagi kepalaku, membenarkan perkataannya. Entah kenapa aku selalu saja tersentuh setiap kali memdengar nasihatnya. Mungkin memang benar, sabar adalah kunci utama dalam cobaan yang tengah menghimpitku. Aku mengukir senyum, tak lupa mencium punggung tangan beliau sebelum memutuskan pulang.
Kutarik daun pintu yang terbuat dari sepon itu, menggesernya pelan. Mataku menangkap keluarga kecilku tengah duduk beralaskan tikar, kulihat adik perempuan dan laki-lakiku, Aisyah dan Sadam juga sudah rapi dengan pakaian seragamnya. Kakiku melangkah cepat, seolah tak sabar menggapai tubuh mereka. Kurengkuh Sadam dan juga Aisyah, erat. Menciumi puncak kepala mereka bergiliran, entah apa yang membuatku ingin melakukannya, hatiku seolah terdorong tanpa paksaan. Mereka sedikit menggeliat, mungkin heran dengan kelakuanku.
"Ada apa, Zam?"
Seketika aku menghentikan aksi jahilku, arah pandangku kini terfokus menatap ibu yang yang baru saja berjalan keluar dari dapur. Terlihat dari kedua tangannya yang sedang membawa nasi serta lauk pauk sederhana.
"Besok ... Azzam cari kerjaan tambahan ya buk!" kataku hati-hati.
"Bukannya ibu enggak setuju, tapi apa nantinya kamu enggak kecapean? Sawah Pak Danu bukannya masih kamu yang pegang, emangnya mau nyari kerja apa?"
Aku sadar apa yang dikatakan ibu benar. Namun keputusanku sudah bulat, berkali-kali aku memikirkannya, aku tidak akan menyerah begitu saja. "Ibu tenang aja, Azzam kuat kok bu. Hei, kalian lihat otot kak Azzam, besar kan?" Aku langsung mengarahkan pandanganku pada kedua kurcaci lucuku.
"Kak Azzam kesambet apaan?" sahut Aisyah, keheranan.
"Iya ih, tiba-tiba jadi aneh begini?!" Tak mau kalah si Sadam menimpali dengan tatapan geli.
"Maksud kalian apa bicara begitu? memangnya tidak boleh?!" Tentu aku merasa tersinggung dan tanpa sadar aku memonyongkan bibir, yang justru menambah tawa mereka kian membahana, termasuk ibu yang berusaha menahan tawa.
"Eh sudah. Azzam jadi contoh yang baik!" tegur ibu, sembari melayangkan cubitan kecil ke pinggangku.
"Wuekk!!" Keduanya menjulurkan lidah, seolah mengejek penderitaanku. Kuarahkan pandanganku pada sebuah jam dinding kecil yang menggantung tak jauh dari bilik kayu sederhana kami. Masih pagi.
"Bapak mana buk?" tanyaku menatap ibu yang disibukkan menaruh makanan di atas tikar.
"Masih di kamar, biar ibu ...."
"Enggak usah, biar Azzam aja!" potongku yang langsung berdiri ke arah kamar bapak. Aku tersenyum lebar, melihat bapak yang mengaji di atas ranjangnya. Kakiku dengan semangat menghampiri beliau, saat itu juga senyum rentanya mengembang menghiasi wajah tuanya. Aku duduk di tepian, mengusap punggung tangannya lembut.
"Kita makan yuk pak! Setelah ini, biar Azzam aja yang mandiin bapak. Kayaknya ibu kecapean, setelah nenun seharian kemarin," ajakku sembari membantu bapak berdiri. Aku menangkap kerutan halus di sekitaran matanya, sebuah gurat kebahagiaan di sana.
Ibu yang melihat kami muncul dari balik pintu, kelihatan sumringah. Refleks ibu setengah berdiri, membantu bapak untuk duduk. Di depan kami sudah tersedia hidangan sederhana berupa setengah bakul nasi yang masih membumbungkan asap panas dan ikan asin berikut sambal merah dalam cobek.
Sadam si bungsu, paling antusias di antara kami semua. Mungkin karena ini adalah salah satu lauk terlezat, meski hanya berupa ikan asin ditambah sedikit lalapan, bagi keluarga kecil kami, ini adalah nikmat yang sepatutnya disyukuri. Bapak sebagai kepala keluarga memimpin do'a makan. Diikuti kami yang saling memgangkat tangan, berharap makanan ini mampu membawa berkah dan kebaikan. Pagi ini, suasana begitu hangat. Tak henti aku menebar senyum terbaikku di depan mereka. Sebuah senyuman yang mampu menjabarkan kebahagiaan dalam hati yang tak dapat terucap kata.
Pukul 06.15 pagi, acara makan kami berakhir. Aisyah dan Sadam bergegas berangkat sekolah setelah menyalami kami. Kulirik ibu yang tengah memberekan bekas wadah makanan kami, dibantu bapak. Jujur aku bahagia, tak peduli seberapa banyak kesusahan yang keluarga kami alami, nyatanya hingga kini Allah masih memberikan jalan untuk kami sekeluarga dapat bertahan. Aku akui, hatiku lemah. Rasanya aku ingin menertawakan diri ini yang tanpa sadar mengeluh. Kuputuskan mulai hari ini untuk memulai hari baru lagi. Memang tidak ada salahnya menangis, kupikir menangis juga dibutuhkan ketika aku mulai merasa penat di tengah keputus asaan yang melanda hati.
Namaku Sunami, baru seminggu lalu aku menikah. Suamiku seorang petani tulen. Sawah dan ladangnya banyak. Mertuaku adalah petani yang cukup terpandang di kampungku.
Dirumah, suamiku memelihara tiga ekor sapi yang sangat besar ukurannya. Mencari rumput juga menjadi tugas suamiku. Dan aku sebagai istrinya harus membantunya. Dengan sukarela kulakukan tugasku, karena aku sangat mencintai suamiku.
Bersih-bersih rumah yang ukurannya lumayan besar, mencuci baju anggota keluarga, memberi makan ternak, menjemur hasil panen. Semua kulakukan dengan senang hati. Aku sangat bahagia dengan pernikahanku. Terlebih memiliki suami yang sangat mencintai dan menyayangiku.
Tapi naas, kedua adik iparku tak menyukaiku. Entah apa yang menjadi sebab mereka begitu membenciku. Mereka bilang aku ini kurang waras, orang gila, dan pembawa sial. Padahal dulu sebelum menikah, merekalah yang ngotot menyuruhku menikahi kakaknya.
Mertuaku yang awalnya menyukaikupun lambat laun mulai terpengaruh hasutan kedua adik iparku. Seringkali kudengar mereka membicarakanku di belakang. Mereka bilang karena namaku Sunami pasti akan timbul bencana besar di keluarga mereka nantinya.
Aku menangis, mengadu kepada suami. Suamiku mencoba bicara dengan orangtuanya. Tapi percuma, mereka mau kami berpisah (cerai). Sedangkan usia pernikahan kami baru dua minggu waktu itu.
Mereka menyebar isu bahwa aku punya penyakit epilepsi. Sering pingsan, tersenyum-senyum sendiri, dan masih banyak lagi fitnahan lain.
Namun suamiku tetap mempertahanku. Bahkan berniat membangun rumah di belakang demi menghindari keributan dengan keluarganya. Spontan keputusan itu ditolak orangtuanya. Dan bagaimanapun aku harus bercerai dengan suamiku.
Sedih dan pedih. Itulah yang kurasakan serta suamiku. Di saat benih-benih cinta di antara kami mulai tumbuh justru mereka menginginkan kami untuk berpisah.
Hingga suatu hari. Ibu mertuaku memberiku perhiasan berupa kalung emas dan gelang yang ukurannya cukup besar. Serta uang berjumlah dua juta rupiah. Aku yang tak tahu apa maksudnya menerima pemberian itu dengan suka cita.
Akan tetapi keesokan harinya, suami mengantarkanku kerumah ibuku. Dia bilang aku harus tinggal beberapa hari dirumah ibuku.
Menyuruhku masuk ke kamar karena dia akan bicara dengan ibuku.
Dua minggu kemudian tepatnya genap satu setengah bulan usai pernikahanku, kakak perempuanku datang menemuiku. Mengatakan bahwa aku diceraikan oleh suamiku dan saat ini prosesnya tengah berjalan.
Kurasakan dadaku sesak, jantung hampir copot, dan tubuhku gemetar. Berita yang sangat tidak kuinginkan akhirnya datang juga.
"Tapi kenapa, apa salahku ????"
Pertanyaan itu tak pernah kutemukan jawabannya.
Di pengadilan agama berbagai tuduhan dikemukakan di hadapanku. Aku menolak tuduhan itu, juga suamiku. Kubu suami dan keluargaku berseteru. Saling menjatuhkan. Masing-masing merasa benar.
Mereka tak perduli akan hati kami (aku dan suamiku). Tak perduli hati kami masih terpaut dan tak ingin berpisah.
Empat tahun berlalu dan kini aku sudah menikah dengan oranglain. Yang tidak menuduhku gila, sinting, tidak waras, epilepsi atau apapun itu.
Dan yang pasti tidak menuduhku sebagai Sunami, si bencana besar yang ditakuti oleh banyak orang.
Nah itu dia contoh cerpen tentang petani. Jika kalian mencari cerita yang seperti Kisah seorang petani yang sukses, Cerita petani sukses, Cerpen petani yang baik hati mungkin kalian bisa mencari referensi di tempat lain. Karena sayangnya saya hanya tau itu saja.
Contoh Cerpen Petani
Titian Asa
Namaku Azzam Samudera, putra sulung dari tiga bersaudara. Aku lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, ataupun buruh serabutan. Kabar buruknya, aku menjadi salah satu diantara mereka. Di usiaku yang menginjak 22 tahun, awal bulan ini. Aku merasakan kegamangan yang telah lama tertimbun jauh di dasar lubuk hatiku, rasa sesak dan bosan yang aku sendiri pun tak mengerti, terus saja menyeruak tiada henti. Hidup serba pas-pasan dan hanya makan seadanya, membuatku lelah.
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Azzam, seakan aku lahir tanpa memiliki kelebihan yang dapat disombongkan. 'Samudera' yang berarti lautan luas, dengan harapan aku bisa menjadi tumpuan bagi orang tua, justru tidak mampu aku emban. Bahkan aku merasa buruk sebagai seorang kakak. Semua berawal ketika bapak pergi ke ladang tujuh tahun lalu ... bapak yang memang sudah berusia lanjut, tanpa sengaja terjatuh ke parit sedalam tiga meter, kakinya terluka, dan patah. Karena keterbatasan biasa, kami hanya bisa membawanya ke tukang urut desa, hingga ia dinyatakan lumpuh sampai sekarang. Ibu yang juga sering sakit-sakitan tambah membuatku hidup nelangsa. Belum lagi, harus mengurusi adik-adik yang masih mengecap bangku sekolah, menjadikan bebanku semakin berat dan tak jarang aku terus mengeluh, contohnya seperti hari ini.
"Zam! Azzam, kamu sudah tidur nak!"
Kutenggelamkan kepalaku di balik bantal usang ini, saat suara parau ibu terdengar. Ibu pasti akan menyuruhku untuk mengambil pinjaman uang dari Pak Jaka, seorang rentenir yang biasa memberikan pinjaman namun dengan bunga yang tak sedikit. Aku lelah dengan semua ini, kebutuhan yang semakin banyak, serta ketidak siapanku menghadapi laju pertumbuhan, membuatku kalah dalam persaingan. Pada akhirnya, aku hanya dapat mengelus dada sabar, menghadapi kerasnya hidup di zaman orde reformasi ini.
"Kamu udah tidur ternyata." Dapat kurasakan tangan keriput itu mengusap kepalaku. Aku masih memilih memejamkan mata, menikmati sentuhan yang hampir tiap malam selalu diberikan ibu setiap kali anak-anaknya terlelap tidur. Aku menangis, cairan bening ini terus mendesak, memaksa keluar. Semakin lembutnya tangan itu mengelus rambut cepakku, semakin tersekat napas ini hingga sebuah kecupan lembut itu mendarat mulus di dahiku.
"Maaf!"
Satu kata yang terujar begitu lirih dari mulutnya, berhasil membuat air mataku berlomba keluar dari sarangnya. Batinku berdenyut sakit, entah apa yang akan terjadi jika aku membuka kelopak mataku saat ini. Berusaha keras aku menahan gejolak liar ini, kugigit bibir bawahku yang bergetar hebat, ingin rasanya aku berteriak, meraung sepuas hati.
Berangsur aku membuka mata, saat langkah kaki ibu kian melebar jauh dari kamarku. Bantal yang sebelumnya kujadikan tempat persembunyianku menangis dalam diam telah basah oleh cairan asin yang keluar dari mataku. Aku tersenyum getir, memilih berpura-pura tidur, meski tangisku tak jua berhenti.
Keesokan paginya, aku bangun pagi-pagi sekali seperti biasa. Peci sudah bertengger rapi di kepala, sarung lusuh yang hanya satu-satunya kupakai ditemani pakaian koko lengan panjang kukenakan. Mungkin itu adalah pakaian baru terakhir yang kusandang sejak lima tahun silam. Aku bergegas ke surau depan, biasa solat subuh di sana.
"Ya Allah, kenapa hamba begitu lemah hanya untuk bertahan dari ujian-Mu? Ampuni hamba yang terlampau sering mengadu pada-Mu. Hamba ingin menyerah, tapi perasaan takut ini terus menghantui ... tolong bantu hamba, tolong kuatkan hamba."
Tangisku kembali pecah di penghujung pagi ini, Dadaku serasa ditikam bertubi, menjalar dengan mudahnya tanpa hambatan berarti. Bibirku terus bergetar tidak sanggup lagi melanjutkan do'aku.
"Aku tak akan meminta Engkau untuk mencabut ujian-Mu, hamba tidak akan memohon agar engkau meringankannya, hanya satu ... Kuatkan hamba agar terus sabar menghadapinya. Ya Allah, kabulkan, kabulkanlah! Aamiin ...."
Kututup do'aku dalam hati dengan perasaan lega, hanya dengan begini, aku mampu menumpahkan sekelumit beban yang tengah kupikul di kedua pundakku. Allah yang mendengarku, melihatku, memperhatikanku, serta mengasihiku—hanya Dia tempatku bersandar—tempatku bercurah segala kegundahan hati, dikala aku merasa letih menjalani skenario kehidupan ini.
"Nak Azzam!" Kutolehkan kepalaku, ketika suara menyapa gendang telingaku. Sudut bibirku terangkat mengetahui sosok teladanku tengah tersenyum menghampiriku. Segera saja, aku berdiri, medekat pada seorang pria yang nampak berwibawa di usianya yang tak lagi muda.
"Pak Ustaz!" sapaku, mencium tangannya. Beliau mengumbar senyuman lebar, lantas mengajakku untuk duduk di teras surau. Kami duduk berdampingan, dengan pandangan lurus. Kudengar beberapa kali, beliau nampak menghirup udara lalu membuang napasnya sebelum menatap ke arahku.
"Menurutmu, kenapa Allah menciptakan manusia?" tanyanya kemudian.
"Agar kita menyembahnya?" jawabku, masih memperhatikan beliau yang terus mengulur senyum.
"Kamu benar Azzam. Tapi kamu melupakan satu hal." Alisku menukik tajam, heran. Memangnya apa yang aku lupakan?
"Apa yang saya lupakan, Ustaz?" Aku bertanya, semakin mendekat pada beliau bahkan aku sudah bergeser menghadapkan tubuhku padanya.
"Allah menciptakan makhluk agar kita tahu kekuasaan-Nya dalam mengatur segala sesuatu. Termasuk ujian yang dihadapi manusia!"
Aku tertunduk sejenak, memandangi alas kakiku yang hanya berupa sandal jepit usang ini. "Apa Pak Ustaz mendengar saya ...," lirihku pelan, sedikit terjeda.
"Nak Azzam yang sabar. Memang tidak mudah menjalani kehidupan dunia. Tapi kamu jangan sampai menyerah, Allah mendengar do'amu. Teruslah berikhtiar."
Aku mengagguk kecil. Tanpa sadar air mata kembali menetes. Aku segera menyekanya kasar, memandang dalam pria berpeci putih di depanku. Tangannya mengusap bahu kekarku, "Kuncinya adalah sabar, nak!"
Kuanggukkan sekali lagi kepalaku, membenarkan perkataannya. Entah kenapa aku selalu saja tersentuh setiap kali memdengar nasihatnya. Mungkin memang benar, sabar adalah kunci utama dalam cobaan yang tengah menghimpitku. Aku mengukir senyum, tak lupa mencium punggung tangan beliau sebelum memutuskan pulang.
Kutarik daun pintu yang terbuat dari sepon itu, menggesernya pelan. Mataku menangkap keluarga kecilku tengah duduk beralaskan tikar, kulihat adik perempuan dan laki-lakiku, Aisyah dan Sadam juga sudah rapi dengan pakaian seragamnya. Kakiku melangkah cepat, seolah tak sabar menggapai tubuh mereka. Kurengkuh Sadam dan juga Aisyah, erat. Menciumi puncak kepala mereka bergiliran, entah apa yang membuatku ingin melakukannya, hatiku seolah terdorong tanpa paksaan. Mereka sedikit menggeliat, mungkin heran dengan kelakuanku.
"Ada apa, Zam?"
Seketika aku menghentikan aksi jahilku, arah pandangku kini terfokus menatap ibu yang yang baru saja berjalan keluar dari dapur. Terlihat dari kedua tangannya yang sedang membawa nasi serta lauk pauk sederhana.
"Besok ... Azzam cari kerjaan tambahan ya buk!" kataku hati-hati.
"Bukannya ibu enggak setuju, tapi apa nantinya kamu enggak kecapean? Sawah Pak Danu bukannya masih kamu yang pegang, emangnya mau nyari kerja apa?"
Aku sadar apa yang dikatakan ibu benar. Namun keputusanku sudah bulat, berkali-kali aku memikirkannya, aku tidak akan menyerah begitu saja. "Ibu tenang aja, Azzam kuat kok bu. Hei, kalian lihat otot kak Azzam, besar kan?" Aku langsung mengarahkan pandanganku pada kedua kurcaci lucuku.
"Kak Azzam kesambet apaan?" sahut Aisyah, keheranan.
"Iya ih, tiba-tiba jadi aneh begini?!" Tak mau kalah si Sadam menimpali dengan tatapan geli.
"Maksud kalian apa bicara begitu? memangnya tidak boleh?!" Tentu aku merasa tersinggung dan tanpa sadar aku memonyongkan bibir, yang justru menambah tawa mereka kian membahana, termasuk ibu yang berusaha menahan tawa.
"Eh sudah. Azzam jadi contoh yang baik!" tegur ibu, sembari melayangkan cubitan kecil ke pinggangku.
"Wuekk!!" Keduanya menjulurkan lidah, seolah mengejek penderitaanku. Kuarahkan pandanganku pada sebuah jam dinding kecil yang menggantung tak jauh dari bilik kayu sederhana kami. Masih pagi.
"Bapak mana buk?" tanyaku menatap ibu yang disibukkan menaruh makanan di atas tikar.
"Masih di kamar, biar ibu ...."
"Enggak usah, biar Azzam aja!" potongku yang langsung berdiri ke arah kamar bapak. Aku tersenyum lebar, melihat bapak yang mengaji di atas ranjangnya. Kakiku dengan semangat menghampiri beliau, saat itu juga senyum rentanya mengembang menghiasi wajah tuanya. Aku duduk di tepian, mengusap punggung tangannya lembut.
"Kita makan yuk pak! Setelah ini, biar Azzam aja yang mandiin bapak. Kayaknya ibu kecapean, setelah nenun seharian kemarin," ajakku sembari membantu bapak berdiri. Aku menangkap kerutan halus di sekitaran matanya, sebuah gurat kebahagiaan di sana.
Ibu yang melihat kami muncul dari balik pintu, kelihatan sumringah. Refleks ibu setengah berdiri, membantu bapak untuk duduk. Di depan kami sudah tersedia hidangan sederhana berupa setengah bakul nasi yang masih membumbungkan asap panas dan ikan asin berikut sambal merah dalam cobek.
Sadam si bungsu, paling antusias di antara kami semua. Mungkin karena ini adalah salah satu lauk terlezat, meski hanya berupa ikan asin ditambah sedikit lalapan, bagi keluarga kecil kami, ini adalah nikmat yang sepatutnya disyukuri. Bapak sebagai kepala keluarga memimpin do'a makan. Diikuti kami yang saling memgangkat tangan, berharap makanan ini mampu membawa berkah dan kebaikan. Pagi ini, suasana begitu hangat. Tak henti aku menebar senyum terbaikku di depan mereka. Sebuah senyuman yang mampu menjabarkan kebahagiaan dalam hati yang tak dapat terucap kata.
Pukul 06.15 pagi, acara makan kami berakhir. Aisyah dan Sadam bergegas berangkat sekolah setelah menyalami kami. Kulirik ibu yang tengah memberekan bekas wadah makanan kami, dibantu bapak. Jujur aku bahagia, tak peduli seberapa banyak kesusahan yang keluarga kami alami, nyatanya hingga kini Allah masih memberikan jalan untuk kami sekeluarga dapat bertahan. Aku akui, hatiku lemah. Rasanya aku ingin menertawakan diri ini yang tanpa sadar mengeluh. Kuputuskan mulai hari ini untuk memulai hari baru lagi. Memang tidak ada salahnya menangis, kupikir menangis juga dibutuhkan ketika aku mulai merasa penat di tengah keputus asaan yang melanda hati.
Namaku Sunami
Namaku Sunami, baru seminggu lalu aku menikah. Suamiku seorang petani tulen. Sawah dan ladangnya banyak. Mertuaku adalah petani yang cukup terpandang di kampungku.
Dirumah, suamiku memelihara tiga ekor sapi yang sangat besar ukurannya. Mencari rumput juga menjadi tugas suamiku. Dan aku sebagai istrinya harus membantunya. Dengan sukarela kulakukan tugasku, karena aku sangat mencintai suamiku.
Bersih-bersih rumah yang ukurannya lumayan besar, mencuci baju anggota keluarga, memberi makan ternak, menjemur hasil panen. Semua kulakukan dengan senang hati. Aku sangat bahagia dengan pernikahanku. Terlebih memiliki suami yang sangat mencintai dan menyayangiku.
Tapi naas, kedua adik iparku tak menyukaiku. Entah apa yang menjadi sebab mereka begitu membenciku. Mereka bilang aku ini kurang waras, orang gila, dan pembawa sial. Padahal dulu sebelum menikah, merekalah yang ngotot menyuruhku menikahi kakaknya.
Mertuaku yang awalnya menyukaikupun lambat laun mulai terpengaruh hasutan kedua adik iparku. Seringkali kudengar mereka membicarakanku di belakang. Mereka bilang karena namaku Sunami pasti akan timbul bencana besar di keluarga mereka nantinya.
Aku menangis, mengadu kepada suami. Suamiku mencoba bicara dengan orangtuanya. Tapi percuma, mereka mau kami berpisah (cerai). Sedangkan usia pernikahan kami baru dua minggu waktu itu.
Mereka menyebar isu bahwa aku punya penyakit epilepsi. Sering pingsan, tersenyum-senyum sendiri, dan masih banyak lagi fitnahan lain.
Namun suamiku tetap mempertahanku. Bahkan berniat membangun rumah di belakang demi menghindari keributan dengan keluarganya. Spontan keputusan itu ditolak orangtuanya. Dan bagaimanapun aku harus bercerai dengan suamiku.
Sedih dan pedih. Itulah yang kurasakan serta suamiku. Di saat benih-benih cinta di antara kami mulai tumbuh justru mereka menginginkan kami untuk berpisah.
Hingga suatu hari. Ibu mertuaku memberiku perhiasan berupa kalung emas dan gelang yang ukurannya cukup besar. Serta uang berjumlah dua juta rupiah. Aku yang tak tahu apa maksudnya menerima pemberian itu dengan suka cita.
Akan tetapi keesokan harinya, suami mengantarkanku kerumah ibuku. Dia bilang aku harus tinggal beberapa hari dirumah ibuku.
Menyuruhku masuk ke kamar karena dia akan bicara dengan ibuku.
Dua minggu kemudian tepatnya genap satu setengah bulan usai pernikahanku, kakak perempuanku datang menemuiku. Mengatakan bahwa aku diceraikan oleh suamiku dan saat ini prosesnya tengah berjalan.
Kurasakan dadaku sesak, jantung hampir copot, dan tubuhku gemetar. Berita yang sangat tidak kuinginkan akhirnya datang juga.
"Tapi kenapa, apa salahku ????"
Pertanyaan itu tak pernah kutemukan jawabannya.
Di pengadilan agama berbagai tuduhan dikemukakan di hadapanku. Aku menolak tuduhan itu, juga suamiku. Kubu suami dan keluargaku berseteru. Saling menjatuhkan. Masing-masing merasa benar.
Mereka tak perduli akan hati kami (aku dan suamiku). Tak perduli hati kami masih terpaut dan tak ingin berpisah.
Empat tahun berlalu dan kini aku sudah menikah dengan oranglain. Yang tidak menuduhku gila, sinting, tidak waras, epilepsi atau apapun itu.
Dan yang pasti tidak menuduhku sebagai Sunami, si bencana besar yang ditakuti oleh banyak orang.
Nah itu dia contoh cerpen tentang petani. Jika kalian mencari cerita yang seperti Kisah seorang petani yang sukses, Cerita petani sukses, Cerpen petani yang baik hati mungkin kalian bisa mencari referensi di tempat lain. Karena sayangnya saya hanya tau itu saja.
EmoticonEmoticon